Rain - Memahami Diam (Episode ke - 19)

Hari terus bergulir, musim silih berganti, keadaan kantor AM Corporate kian hari membaik, setelah kepergian nenek. Rain yang sudah mulai terbiasa tanpa nenek, kini sudah bisa berdiri sendiri, ia tetap menjadi Wakil Direktur menemani Azzam selaku Direktur Utama, Dimas dan Hanif masih setia sebagai Direktur Umum dan Operasional. Karena ini adalah perusahaan keluarga Azzam, sehingga Direktur yang dipilih pun cukup kesepakatan para pemegang saham, dan pemegang saham utama dimiliki oleh Almh. nenek Azzam dan Rain. 

Saat itu Rain sedang duduk di ruangannya ia sedang tidak enak badan, namun tetap fokus pada komputer di hadapannya. Tiba-tiba terdengar suara ketuk pintu dari luar ruangannya. 

Tuk.. Tuk.. Tuk.. 

"Iya, silahkan masuk." Ucap Rain sambil fokus pada komputernya. 

"Hey, lagi apa, makan di luar yuk?" Tanya Dimas menghampiri meja kerja Rain. 

"Boleh, yang lain gimana?" Tanya Rain sambil melepas kacamatanya. 

"Yang lain sudah di lobby, tinggal menunggu kamu." Ucap Dimas. 

"Oh ya? Okey, ayo kita berangkat." Ucap Rain sambil memakai jaket dan membawa tasnya.

Saat itu Azzam dan Hanif sudah berada di lobby, terlihat sekretaris Azzampun ada disana. Tapi ada Sica disana, iya Sica adalah salah satu karyawan yang lumayan cukup dekat dengan Direksi.

"Loh, Sica ikut?" Tanya Dimas sambil mendekat. 

"Kenapa memang? Aku boleh ikut kok kata Azzam. Iya kan Zam?" Tanya Sica melirik ke arah Azzam. 

"Iya, tadi Sica ingin ikut, jadi aku persilahkan aja, gak apa-apa kan? Atau ada yang mau di bahas untuk Direksi saja?" Tanya Azzam. 

"Ngga ko, yaudah ayo berangkat." Ucap Hanif. 

Merekapun langsung berangkat menggunakan kendaraan masing-masing, namun Azzam berangkat semobil dengan Rain. Namun tiba-tiba. 

"Rain, boleh gak aku semobil disini? Ada yang mau aku bahas dengan Azzam." Ucap Sica ketika Rain hendak masuk ke mobil Azzam. 

"Oh, disini kan tempat duduknya hanya berdua, kalau gitu aku bawa kendaraan sendiri saja ya?" Ucap Rain. 

"Jangan Rain, dengan kita berdua saja." ucap Hanif dan Dimas dari dalam mobil.

"Oh okay, nanti biar Sinta dan Rony bawa mobil sendiri saja ya?" Tanya Rain.

"Mba Rain tenang saja ya." Ucap Sinta.

Merekapun segera berangkat, nampak wajah senang di wajah Sica karena bisa satu mobil dengan Azzam. Rain yang sudah mulai terlihat sedih mencoba biasa saja, karena setelah kepergian nenek, Rain belum pernah jauh dari Azzam, bahkan berangkat dan pulang kerjapun selalu satu mobil dengan Azzam.

Sesampainya di tempat makan, mereka semua langsung turun dan segera masuk ke meja yang sudah di pesan sebelumnya oleh Rony sekretaris Azzam. Tempat  makan mewah yang biasa di pesan oleh para Direksi AM Corporate, cukup asing bagi Sica, melihat tempat makan yang begitu mewah, Sica mencoba untuk menyesuaikan namun dengan sikap yang menyebalkannya Sica sempat membuat para pelayan kesulitan memenuhi keinginan Sica. 

Mereka mengambil meja bundar untuk lima orang, Azzam, Rain, Dimas, Hanif dan Sica. Sica berada di samping kiri Azzam. 

Hidangan sudah tersedia semua di meja makan, Azzam terheran melihat menu makanan yang berada di meja terdapat beberapa lauk seafood, hanya satu saja yang tidak. 

"Siapa yang mengubah menu makan ini mas Rony?" Tanya Azzam pada sekretarisnya. 

"Izin mas Azzam, tadi mba Sica merubah semua makananya." Ucap Rony sambil menunjuk Sica.

"Ya sudah tolong pesankan makanan kesukaan Rain seperti biasa ya?" Ucap Azzam. 

"Udah gak apa Zam, aku bisa makan ini, blackpaper beef." Ucap Rain. 

"Aku sengaja pilih makan disini, agar kamu bisa menikmatinya Ren." Ucap Azzam. 

"Gak apa ko Rain, kita tunggu dulu saja sampai makanan kamu datang." Ucap Hanif.

"Sica nih gimana merubah menu tanpa bilang dulu, apalagi ini ada udang albino, kamu tahu kan waktu acara kantor Rain alergi makan itu?" Ucap Dimas.

"Udah gak apa Dim, mungkin Sica lupa." Ucap Rain. 

"Iya aku lupa, sorry ya Rain!" Ucap Sica dengan wajah kesal. 

"Ya udah gak apa, ini makan dulu aja makanan pembukanya ya." Ucap Azzam.

"Iya Zam." Ucap Rain. 

Melihat keakraban Rain dan Azzam membuat Sica ingin mengganggu mereka, sesekali Sica selalu meminta tolong mengambilkan apapun yang melibatkan Azzam, agar fokus Azzam tidak hanya pada Rain. Semua mulai risih dengan keberadaan Sica disitu, kenyamanan makan siang yang biasanya nyaman kini terganggu oleh kehadiran Sica.

Namun tiba-tiba saja ketika semua makanan sudah di hidangkan, makanan Rain sudah siap di santap, Sica mengatakan perkataan yang kurang enak di dengar. 

"Wah sudah lama ya tidak makan-makan seperti ini, ada hikmahnya juga nenek meninggal, jadi kalian bisa bersenang-senang tanpa memikirkan nenek kalian itu." Ucap Sica. 

Mendengar perkataan Sica seperti itu, semua terdiam, kesabaran Rain sudah habis melihat tingkah manja dan kurang menyenangkan yang Sica lakukan. 

"Sudah cukup, aku sepertinya harus kembali ke kantor." Ucap Rain sambil berdiri merapikan pakaian. 

"Tidak sopan sekali, kita baru mulai makan." Ucap Sica. 

"Tolong jangan mengajarkan kesopanan, sedang kamu sendiripun tidak mengerti arti kesopanan." Ucap Rain menatap Sica. 

"Kamu sudah mulai berani ya Rain, ingat aku dan kamu itu lebih senior aku di kantor, kamu tidak boleh berbicara seperti itu." Ucap Sica. 

"Tolong ya nona Sica yang saya hormati, anda yang memulai ketidaknyamanan ini." Ucap Rain. 

"Apa? Bilang saja kamu iri Azzam mengajak aku makan kan?" Tanya Sica. 

"Tujuan kamu makan kan? Ya silahkan makan, aku tidak nafsu makan." Ucap Rain. 

"Rain, ayo habiskan makan dulu, kenapa kamu seperti ini?" Tanya Azzam menyuruh Rain duduk. 

"Kamu juga yang salah Zam, kenapa bawa dia." Ucap Dimas. 

"Rain sudah duduk kita makan dulu, Sica kamu harus meminta maaf, tadi perkataanmu menyinggung Rain dan Azzam, kamu tidak boleh berbicara tidak sopan seperti itu." Ucap Hanif.

"Ngga, udah cukup aku mau ke kantor lagi aja. masih banyak kerjaan, Sin ayo siapkan mobil." Ucap Rain meminta pada Sinta sekretarisnya. 

"Rain, kamu ko kekanakan sekali, ayo duduk makan dulu, tadi kan sudah aku pesankan." Ucap Azzam. 

"Iya kamu ke kanakan sekali." Ucap Sica menambah panas suasana.

"Apa? Kekanakan? Aku benci kamu Zam, sana makan aja. Aku pamit, maaf ya Nif, Dim aku duluan." Ucap Rain berlari keluar restauran. 

"Gimana sih, Sica kamu harusnya berkata yang sopan." Ucap Dimas dengan nada tinggi. 

"Sudah Dim, mungkin Sica lupa, lanjut makan saja." Ucap Azzam. 

"Kenapa kamu membela Sica?" Tanya Dimas.

"Tidak, aku hanya tidak mau ada pertengkaran lagi." Ucap Azzam.

"Kamu harusnya kejar Rain, dia itu sakit Zam, kamu ga lihat dia pakai jaket?" Ucap Hanif. 

"Jangan Zam, Rain tidak sopan meninggalkan kita seperti ini." Ucap Sica.

"Ya sudah kalian makan dulu, aku mau coba lihat keluar." Ucap Azzam sambil berdiri menelepon Rain dan mencarinya keluar, namun Rain sudah tidak terlihat. 

Azzampun kembali dan terus melanjutkan makan, namun Azzam terpikirkan Rain. 

"Kalian lanjutkan makan saja, aku mau ke kantor mencari Rain ya." Ucap Azzam. 

"Aku ikut Zam." Ucap Sica. 

"Jangan ikut, kamu disini saja, itu kan masih banyak makananmu." Ucap Dimas. 

"Aku duluan ya, maaf ya Sica." Ucap Azzam meningglakn mereka. 

Azzam langsung menuju kantor, meninggalkan Dimas, Hanif dan Sica yang masih menyantap makan siang. Selama makan siang, Dimas dan Hanif menasehati Sica. 

Sesampainya di kantor, Azzam tidak menemukan Rain, Azzam langsung mencari Sinta sekretaris Rain, namun Sinta bilang Rain izin pulang karena merasa tidak enak badan.  Rain di antar oleh supir kantor. 

Azzampun segera menuju ke rumah dengan kecepatan tinggi, khawatir dengan keadaan Rain. Sesampainya di rumah, Azzam tidak melihat ada kendaraan kantor terparkir di halaman rumahnya. Azzam segera bertanya pada pembantunya, pembantunya bilang Rain di kamar, ketika itu Azzam langsung menuju lift untuk ke kamar Rain, namun tetap tidak ada. Ia segera ke lantai empat, tempat persembunyian mereka berdua, namun tetap tidak ada juga. Semua isi ruangan di rumahnya sudah Azzam kelilingi tapi Rain juga tetap tidak ada. Semua pembantu di perintahkan mencari Rain, karena keadaan ruamah yang sangat luas, tidak memungkinkan Azzam mencari seorang diri. 

Setelah dipikirkan, hanya ada satu tempat yang belum Azzam datangi. Dan Azzam segera berlari ke halaman belakang rumahnya, terlebih lagi mulai gerimis. Benar saja, terlihat Rain sedang tertidur menyandar ke makam nenek.

Azzam berjalan perlahan, dan melihat Rain tidur menunduk ke makam nenek, terlihat wajah bekas menangis di wajahnya, saat itu Rain tidak sadar kalau Azzam sedang memperhatikan ia yang tengah tertidur. Azzam merasa sangat menyesal karena tidak mencoba memahami sikap Rain yang sejak awal diam dan mengalah. Azzampun baru tersadar bahwa Rain paling tidak suka bergabung dengan yang lain karena setelah kepergian nenek, Rain menjadi pribadi yang tertutup. Azzampun baru menyadari ketika Rain tengah marah, bersedih, ataupun cemburu, ia lebih baik memilih menghindar dan diam. 

Azzam memperhatikan tangan Rain yang sudah mulai memerah, sepertinya alergi Rain mulai kambuh. namun badannya terlihat menggigil, dan ketika Azzam memegang kening Rain, ternyata Rain demam. Rain terus memanggil nama nenek dengan mata terpejam. Sepertinya Rain tidak tertidur, Rain pingsan karena begitu lemas.  

Azzam segera menggendong Rain yang tidak sadarkan diri sehabis menangis untuk masuk ke dalam rumah, dan memindahkannya ke kamar, Azzam meminta pembantu untuk mengganti pakaian Rain dan segera menelepon dokter pribadi Rain. 

Azzam menunggu Rain di luar kamar, setelah Rain berganti baju, Azzam duduk di samping kasur Rain, terlihat jelas penyesalan dari wajah Azzam, karena tidak memahami sikap Rain hari ini. 

Tidak lama dokter datang dan segera memasang obat infus. Hari sudah semakin malam. Dokterpun pulang, Rain di jaga oleh pelayan rumah dan perawat pribadi. Azzam tertidur di kursi samping kasur. 

Tidak lama pelayan membangunkan Azzam, karena terlihat pergerakan pada tangan Rain. Azzam menunggu Rain terbuka mata. Dan Rain pun mulai sadar. 

"Ren.." Panggil Azzam. 

"Zam, aku ketiduran. Jam berapa ini?" Tanya Rain dengan suara lemah.

"Jam 2 pagi." Jawab Azzam. 

"Kenapa kamu belum tidur Zam? Kenapa kamu ada di kamarku? Zam, aku belum kembali ke kantor, kerjaan masih begitu banyak." Ucap Rain. 

Azzam hanya terdiam.

"Zam sudah makan? Bagaimana makan siangnya? Menyenangkan? Maaf aku tinggalin kamu Zam." Ucap Rain berbicara dengan mata terpejam. 

Azzam hanya memperhatikan Rain, yang ternyata dia sedang mengigau. Tidak lama dari situ, Rain terdiam dan kembali tidur. Badannya masih cukup demam, belum turun panasnya, namun tidak sedemam sebekumnya. 

Esoknya Azzam menyiapkan sarapan untuk Rain. Dan segera berangkat ke kantor. Yang biasanya Azzam berangkat dengan Rain, kali ini Azzam hanya berangkat seorang diri. Seperti ada yang berbeda, biasanya dia pergi bersama Ran. 

Ada rasa penyesalan yang berlebih ketika Azzam melihat Rain yang kini masih terkulai lemas di kamarnya. Membayangkan kejadian kemarin, rasa salah Azzam semakin memuncak ketika mengingat sikap diam Rain yang sebenarnya sudah merasakan tidak nyaman. 

Sesampainya di kantor, Azzam turun dari mobil cooper-nya. Tidak lama Dimas datang dari belakangnya. 

"Pagi Zam, gimana Rain?" Tanya Dimas. 

"Badannya demam, tapi sudah ada dokter khusus yang jaga di rumah." Ucap Azaam. 

"Oh gitu, ya sudah jangan lupa meeting jam 2 siang nanti ya." Ucap Dimas. 

"Oh iya okay Dim, thanks ya dah di ingetin. Jangan lupa suruh bagian sekretaris siapkan file yang di butuhkan ya." Ucap Azzam. 

"Iya tenang aja, soal itu semua udah di siapkan kok. Nanti Hanif juga mengundang perwakilan pemegang saham untuk hadir." Ucap Dimas.

"Wah bagus kalau gitu, nanti sebelum rapat semua berkumpul di ruangan aku dulu saja, siapa PIC rapat kali ini?" Tanya Azzam. 

"Sica Zam" jawab Dimas. 

"Oh gitu, yaudah nanti Sica ajak untuk rapat juga ya." Ucap Azzam.

"Okay Zam, ya sudah aku duluan masuk ke ruangan ya." Ucap Dimas. 

"Sip. Aku juga mau masuk dan melanjutkan pekerjaan." Ucap Azzam sambil membuka pintu ruangannya. 

Ia sambil melihat ruangan sebelah tempat kerjanya, itu ruangan Rain yang kosong, hari ini nampak sepi karena tidak ada Rain di dalamnya. Azzampun bekerja menyelesaikan pekerjaan yang sebelumnya sempat terhenti. 

Gimana kabarmu Ren? Azzam mengirim pesan pada Rain. Namun pesan dari Azzam belum dibaca oleh Rain. 

Tibalah waktu rapat persiapan. Semua peserta sudah hadir, tinggal Azzam yang belum ada.

"Sica, Azzam mana?" Tanya Dimas. 

"Aku tidak tahu, mungkin sedang repot mengurus anak yang sakit. Kamu kan ruangannya sebelahan." Ucapan Sica itu bermaksud menyindir Rain. 

"Sudah, kalau terdengar Azzam tidak enak." Ucap Hanif. 

"Tadi dia sudah tidak ada di ruangan, jadi menurutmu bagaimana?" Tanya Dimas pada Hanif. 

"Bagaimana apanya?" Tanya Hanif.

"Itu Azzam, mau aku panggil saja?" Tanya Dimas. 

"Biar aku saja yang panggil. Supaya tidak usah memikirkan si penyakitan" Ucap Sica sambil tertawa. 

Tidak lama terdengar suara berbicara dari kolong meja rapat. 

"Aku dari tadi disini, ayo kita mulai." Ucap Azzam keluar dari bawah meja dan langsung duduk di kursi.

"Loh sedang apa Zam?" Tanya Sica.

"Tadi aku mencari lencana, tapi sudah ku temukan, yuk kita mulai sekarang." Ucap Azzam.

Sica, Dimas dan Hanif terkejut, melihat kelakuan Azzam etrsebut, muka Sica malu karena terlihat sikap dan sifat dia selama di belakang Azzam seperti apa. Namun Azzam tidak mau mempermasalahkan itu lebih lama lagi. Karena rapat akan segera di mulai maka semuanya serius membahas persiapan dengan pemegang saham, yang pasti akan memakan waktu lama.  

Rapat dengan pemegang saham pun selesai, semua peserta rapat kembali ke ruangan masing-masing, ketika Azzam melihat ke jendela ruangan, ternyata sudah gelap, waktu menunjukan pukul 9 malam, ia membuka ponselnya, namun Rain belum membalas pesannya. Azzam bergegas pulang, karena Rain tidak pernah lama embalas pesan Azzam, ini kali pertama dia tidak memberi kabar, Azzam merasa sangat khawatir, maka dari itu Azzam memutuskan pulang, meskipun ada yang harus ia selesakan di kantor, namun Rain lebih penting. 

Azzampun bergegas pulang. Sepanjang jalan ia melihat ponselnya namun belum ada saja balasan dari Rain. Dia mampir ke toko untuk membeli kue kesukaan Rain. Setelah itu ia melanjutkan pulang. 

Sesampainya di rumah, Azzam bergegas mandi dan berganti pakaian, ia langsung menuju kamar Rain di lantai 2. 

Saat Ia keluar dari lift, ternyata Rain sedang tertidur di ruang TV, di atas sofa dengans elimut depan kamar Rain. Saat Azzam mendekati, Rain pun terbangun. 

"Eh Zam, sudah pulang?" Tanya Rain.

"Sudah kamu tiduran saja disitu, iya aku baru pulang, kamu dari siang tidak memberi kabar, aku baru selesai rapat langsung pulang ke rumah, mau tau kabar kamu Ren." Ucap Azzam sambil duduk di sofa dekat kepala rain yang sedang tiduran." Ucap Azzam. 

"Maaf, aku seharian tidur Zam, ponselku ada di kamar, tidak aku bawa kesini aku lupa." Ucap Rain. 

"Ya sudah, kamu sduah makan malam?" Tanya Azzam. 

Rain hanya mengangguk.

"Ya sudah, kamu tidur lagi saja, obat sudah di minum?" Tanya Azzam. 

"Belum." Jawab Rain. 

"Ya sudah dimana obatnya?" Tanya Azzam. 

"Ada di meja kamarku." Ucap Rain.

Azzam langsung mengambilnya di kamar Rain, setelah ia mendapatkan obat Rain, Azzam langsung memberikan obat pada Rain, dan Rain langsung meminumnya. Setelah meminum obat, rain duduk sejenak. 

"Rain, maafkan aku ya." Ucap Azzam sambil menatap ke arah TV di depannya. 

"Kenapa Zam?" Tanya Rain. 

"Maaf, aku sudah tidak memahami kamu, maaf untuk sikap aku yang ngga mencoba memposisikan sebagai kamu." Ucap Azzam.

"Hmm, Azzam aku pusing dengar kata-katanya, coba lebih singkat." Ucap Rain.

"Intinya, maaf aku kurang bisa mengerti kamu, tapi ke depannya aku bakal jaga sikap ke orang lain kok, aku akan terus perhatikan kamu." Ucap Azzam.

"Sudah Zam, lagi pula kemarin memang aku yang tidak enak badan." Jawab Rain. 

"Ngga, bahkan kamu sakitpun aku tidak menyadari itu, maaf aku kurang peka Rain. Tapi aku usahakan ke depannya aku akan lebih mengerti kamu. Maafkan aku Rainy.." Ucap Azzam sambil meneteskan air mata.

"Loh, ko menangis Zam? Ah, sudah jangan buat aku bersedih, aku jadi rindu nenek." Ucap Rain sambil menangis.

"Aku sudah berjanji pada nenek untuk menjaga kamu Rain, maafkan aku yang ngga berguna, kemarin membiarkan kamu pergi sendiri kesakitan." Ucap Azzam sambil menghapus air matanya.

"Zam, sudah. Aku ngga apa-apa kok, ini aku sudah membaik. Sudah jangan buat aku merasa bersalah Zam." Ucap Rain sambil menangis karena melihat Azzam menangis.

"Iya Ren, sekali lagi maafkan aku ya Ren... Rain, jika kamu bersedia, izinkan aku terus mendampingi kamu, menjaga kamu, dan membersamaimu hingga tua nanti Ren, jangan pernah tinggalin aku, akupun begitu tidak akan meninggalkan kamu." Ucap Azzam, menghentikan tangis Rain. 

"Maksud kamu apa Zam?" Tanya Rain. 

"Rain.." panggil Azzam sambil pindah berlutut di hadapan rain yang sedang duduk di sofa. 

"Kenapa? Berdiri Zam, aku tidak nyaman." Ucap Rain. 

"Mau kah kamu menjadi partner bahagia dan dukaku Rain? menjadi obat dalam sakitku Rain? Menjadi pendampingku selamanya Rain? Bersediakah kamu di bimbing oleh aku yang masih berusaha memahami diammu Rain?" Ucap Azzam sambil menatap Rain yang tengah menunduk melihat Azzam yang berlutut. 

"Zam, tapi aku masih banyak kekurangan, tidak kah kamu melihat sikapku yang buruk?" Tanya Rain.

"Aku tidak peduli." Ucap Azzam. 

"Tapi aku tidak suka Sica, dan wanita lain yang dekat kamu Zam." Ucap Rain. 

"Aku tahu, dan mencoba pahami itu." Jawab Azzam.

"Zam, aku masih banyak kekurangan, sikapku masih kekanakan, aku cemburuan dan terlalu sensitif, aku berpenyakit dan akan selalu merepotkan kamu. Tapi, kamu lah yang selalu membuat aku merasa hidup di saat aku mulai lelah, kamu yang memberi warna ketika semua terasa abu. Aku mau di bimbing oleh lelaki yang tidak peka seperti kamu. Aku mau Zam." Ucap Rain sambil tersenyum. 

"Alhamdulillah. Aku senang Ren, semoga nenek juga bahagia melihat keputusan kita, mulai saat ini kamu jangan hanya diam, jika aku salah kamu harus beri tahu aku, jika kamu tidak nyaman, cemburu, atau sakit kamu harus bilang sama aku, karena aku gak mau kamu merasa sakit sendiri." Ucap Azzam. 

Rainpun mengangguk. 

"Terimakasih Ren, sudah selalu menerima aku, terimakasih banyak." Ucap Azzam. 

Setelah pembahasan panjang tersebut, Rain memutuskan tidur di kamarnya, dan Azzam segera turun ke lantai bawah untuk tidur di kamarnya. 

Setelah hari itu berlalu, mereka segera mempersiapkan keperluan untuk mereka menikah.

 










 


Comments

Popular Posts